Wilayah
Bondowoso ketika awal tahun 1930 atau sebelum kemerdekaan, merupakan
bagian dari Karesidenan Besuki. Karesidenan Besuki merupakan pusat
pemerintahan di daerah Tapal Kuda dan sekitarnya, dibentuk oleh
pemerintah Kolonial Belanda dalam rangka mengatur kebijakan penanaman
dan penjualan barang-barang komoditi khususnya tembakau serta
memperlancar arus perdagangan melalui pelabuhan-pelabuhan laut.
Dalam prosesnya, wilayah-wilayah lain di
sekitar Besuki, termasuk di dalamnya Bondowoso juga berkembang dan
mulai memunculkan geliat-geliat ekonomi pada penduduknya. Geliat ekonomi
ini perlahan merubah perilaku masyarakat untuk lebih termotivasi dalam
mencari pendapatan.
Perilaku masyarakat yang berubah di
kawasan Bondowoso, khususnya Kecamatan Wonosari dan sekitarnya, diikuti
makin maraknya tindakan premanisme dan kejahatan yang dilakukan oleh
para preman, penjahat, dan bromocorah. Bromocorah merupakan istilah
lokal Orang Madura untuk menyebut para ahli bela diri dan ilmu kanuragan
yang ada di masyarakat.
KH Asy’arie merupakan perintis awal atau
tokoh awal penyebar Agama Islam di wilayah Wonosari, dan sekitarnya.
Beliau merupakan murid Syech Kholil Bangkalan yang pada masa sebelum
kemerdekaan atau saat masa-masa kolonial Belanda berkuasa, Pondok
Pesantren Syech Kholil Bangkalan menjadi tempat belajar para santri yang
kelak di masa mendatang menjadi ulama-ulama tangguh di bidangnya.
Para santri yang pernah belajar di bawah
asuhan Syech Kholil selain alm.KH. Asy’arie, ialah Hadratus Syech KH.
Hasyim Asy’arie (pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama dan pendiri Pondok
Pesantren Tebuireng, Jombang), KH. Ali Wafa (pendiri Pondok Pesantren
Temporejo, Jember), KH. M. Munawwir (pendiri Pondok Pesantren
Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta), KH. R. Abdul Fattah (pendiri Pondok
Pesantren Al Fattah, Tulungagung), KH. Romli Tamim (Jombang), dan
sebagainya (Arrifa’i, 2010).
Sebagai seorang tokoh agama, alm. KH.
Asy’arie kemudian mencari solusi agar dakwahnya diterima sehingga bisa
mengurangi tindak kejahatan yang terjadi di wilayah Wonosari dan
sekitarnya. Solusi ini kemudian melahirkan suatu ide berdakwah islami
dengan cara a maèn kèjung. Istilah lokal ini berasal dari
Bahasa Madura yang apabila diterjemahkan berarti menyanyi mirip seperti
sinden atau tindakan saling memukul dengan rotan. Dalam kasus ini a maèn kèjung yang dimaksud adalah tindakan saling memukul dengan rotan.
Kèjung merupakan tradisi yang
pelaksanaanya hampir mirip dengan kesenian Tiban di wilayah Tulungagung,
dimana para pemain, saling berhadapan dan saling cambuk dengan rotan.
Kèjung dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai ajang perlombaan, untuk
menguji nyali, kekuatan fisik, taktik dan ketangkasan para pemain.
Setiap pemain membawa rotan untuk dipukulkan ke lawannya. Pemain
dikatakan menang jika berhasil menjatuhkan lawan. Kèjung merupakan
tradisi yang juga ditemukan di kebudayaan Jawa, seni ini memadukan ke
uatan fisik, kanuragan, gerakan dan terkadang diiringi dengan musik,
meskipun dalam prakteknya kèjung yang dilakukan oleh alm KH. Asy’arie
dipengaruhi oleh kebudayaan Madura yang kuat. Aspek yang ditonjolkan
ialah gerakan dari pemain kèjung itu sendiri yang dinamis, bertenaga,
dan tidak terlalu menonjolkan musik. Tradisi ini sering dijadikan ajang
taruhan ataupun judi oleh para peserta yang melihatnya, disini perlahan
alm KH. Asy’arie merubah aturan ini.
alm KH. Asy’arie memanfaatkan kèjung
untuk menundukkan lawan-lawannya yang kemudian beliau rangkul dalam
proses pembelajaran islam. Hal ini nampak ketika lawan-lawan beliau yang
umumnya merupakan bromocorah, preman dan penjahat menggunakan ilmu
hitam namun berbeda dengan alm KH. Asy’arie, yang menekankan pada
penggunaan ilmu putih atau ilmu agama untuk menghadapi para bromocorah,
preman dan penjahat. Para bromocorah, preman dan penjahat yang kalah
ini, tertarik mengetahui ilmu yang dipakai oleh alm KH. Asy’arie,
sehingga ini mengundang mereka untuk mendalami Islam lebih giat. Beliau
menggunakan tradisi lokal sebagai sarana dakwah, karena dakwah secara
langsung di kalangan masyarakat Wonosari dan sekitarnya yang dihuni
preman, penjahat, dan bromocorah dengan jumlah yang banyak, berpotensi
memunculkan konflik dan pertentangan.
Seiring berjalannya waktu, proses dakwah
dengan media seni ini memunculkan kesan bagus kepada masyarakat
termasuk para preman, penjahat dan bromocorah di wilayah tersebut.
Perlahan mereka tertarik untuk melihat lebih dekat kesenian kèjung ini
dan terlibat di dalamnya, lama-kelamaan usaha dakwah alm. KH. Asy’arie
dalam menyebarkan Agama Islam di wilayah Wonosari dan sekitarnya menuai
hasil. Keberhasilan ini diikuti pula dengan jerih payah beliau untuk
merintis dan mendirikan Pondok Pesantren Daruth Tholabah, serta menjadi
Pembina Pertama Jam’iyah Nahdlatul Ulama di wilayah Kabupaten Bondowoso.
Keberhasilan mendirikan pondok pesantren tersebut tidak lepas dari
usaha beliau merangkul masyarakat di sekitar, khususnya para preman,
penjahat, dan bromocorah di kawasan itu.
Usaha dan do’a dari sesama kyai tidak
bisa dipungkiri perannya, salah satunya adalah beliau KH. R. Syamsul
Arifin merupakan ayah dari KH. As’ad Syamsul Arifin (pendiri Pondok
Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo). KH. R. Syamsul
Arifin menjadi dewan penasehat atau pembina di Pondok Pesantren Daruth
Tholabah dan daerah Wonosari, Bondowoso antara tahun 1910-1950 M.
Saat berdirinya Pondok Pesantren Daruth
Tholabah, merupakan masa-masa yang begitu genting dimana kolonialisasi
Belanda masih melanda wilayah Bondowoso dan sekitarnya, kemudian diikuti
pula penjajahan Jepang. Kondisi ini membuat Pondok Pesantren Daruth
Tholabah selain sebagai pusat pendalaman ilmu agama, juga difungsikan
sebagai basis pertahanan dan perjuangan rakyat melawan penjajah. Selama
masa perjuangan, masyarakat Wonosari dan sekitarnya termasuk di dalamnya
santri Pondok Pesantren Daruth Tholabah, yang terdiri dari berbagai
elemen masyarakat khususnya preman, penjahat dan bromocorah ikut
terlibat dalam perjuangan melawan penjajah.
Alm. KH. Asy’arie wafat tahun 1948 yang
pada saat itu, Indonesia baru merayakan kemerdekaannya yang ke tiga.
Tradisi kèjung yang beliau pakai untuk berdakwah, kini mulai luntur,
harapan kita semua semoga tradisi ini bisa terpelihara untuk menambah
khasanah kebudayaan nusantara. Alm. KH. Asy’arie dimakamkan di pemakaman
keluarga yang terletak di Jalan Kelapa Sawit, Kecamatan Wonosari,
Kabupaten Bondowoso. Makam beliau berada di sisi sebelah barat Jalan
Kelapa Sawit dan berdekatan dengan pemukiman penduduk dan areal
persawahan.
Semoga perjuangan beliau mampu
diteruskan oleh generasi-generasi muda ke depan, dan tentu saja kita
bisa mengambil hikmah dari perjuangan beliau di masa lalu, Amin, Insya
Allah. Al Fatihah untuk beliau dan keluarga-keluarga beliau, semoga
Allah SWT mengampuni dosa-dosa mereka, termasuk mengampuni dosa-dosa
kita semua. Harapan lebih jauh dari tawassul singkat ini agar kita semua
diberi keselamatan untuk hidup di dunia ini dan akherat kelak, amin ya robbal alamin.
0 komentar:
Posting Komentar