Kiai
Cholil Kiai NU dari Jawa Tengah yang sangat disegani. Dalam dirinya
terdapat sosok seorang yang bukan hanya benar-benar kiai, tetapi juga
penulis, politisi, dan sekaligus seorang sufi. Keluarga besarnya adalah
kiai-kiai besar dan para penulis hebat. Ayahnya bernama KH Bisri
Mustofa, penulis produktif dan pengarang tafsir terkenal, al-Ibriz,
dalam bahasa Jawa. Adiknya bernama KH Mustofa Bisri, seorang penyair,
budayawan, kiai, dan penulis produktif. Cholil Bisri adalah anak sulung
yang lahir dari pasangan Kiai Bisri Mustofa dan Ma’rufah binti KH Cholil
Kasingan. Ia lahir pada Oktober 1941. Pendidikannya waktu kecil adalah
di Sekolah Rakyat 6 Kartioso yang ditempuh dalam waktu lima tahun,
karena ia langsung diterima di kelas dua dan tidak mau satu kelas dengan
adiknya, Mustofa, yang pada saat bersamaan masuk kelas satu. Selain
menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat (1954), Cholil juga sekolah di
Madrasah Ibtidaiyah (1954), kemudian melanjutkan di SMP Taman Siswa
(1956) bersamaan dengan sekolah di Perguruan Islam (1956). Ia kemudian
melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur,
(1957), Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta (1960), Aliyah
Darul Ulum Mekah (1962), dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kiai Bisri
Mustofa tidak memaksakan anaknya harus menempuh pendidikan di pesantren
tertentu. Oleh karena itu, ketika Cholil diminta oleh KH Machrus Ali
dari Lirboyo dan KH Ali Maksum Krapyak untuk nyantri di pesantrennya, ia
diminta memilih sendiri. Ia kemudian memilih nyantri di kedua tempat
itu. Di tangan Kiai Ali Maksum, ia terasah tradisi menulisnya, karena
setiap membuat kesalahan ia diberi ganjaran. Salah satu ganjarannya, ia
disuruh menulis kitab tertentu dua kuras beserta artinya. Tradisi ini
ikut membentuk tradisi menulis Cholil ketika dewasa. Dalam organisasi,
Cholil berkiprah di lingkungan NU. Dimulai ketika ia aktif sebagai Ketua
GP Ansor Rembang, Ketua Partai NU Rembang (ketika NU menjadi partai
sendiri pada 1971), Ketua DPC PPP (ketika NU fusi dengan PPP). Ia juga
pernah menjadi A’wan dan Mustasyar PWNU Jawa Tengah, dan Ketua MPW PPP
Jawa Tengah. Pada awalnya Cholil tidak berkecimpung di partai politik.
Sampai suatu ketika Kiai Ali Maksum menegurnya di Munas Alim Ulama
Kaliurang Yogyakarta, “Kamu kok tidak ikut main politik seperti adikmu,
Mustofa, kenapa?” Pada akhirnya Cholil tertarik juga di politik, dan ia
memiliki parodi yang sangat mendalam tentang NU dalam politik. Parodinya
yang sering dikutip berbunyi, “NU itu sering diidoni (diludahi).”
Karena keterlibatannya dalam PPP, pada 1982 ia diminta untuk menjadi
anggota DPRD Tingkat I, tetapi ia menolak, karena ia berprinsip harus
mengurus pesantren. Waktu itu, ia hanya mau di DPRD Tingkat II, seumur
hidup. Terlebih lagi setelah ayahnya meninggal pada 1977, ia memegang
tanggung jawab untuk menjadi pengasuh di Pesantren Raudhatut Thalibin
sehingga ia hanya tertarik dalam politik lokal. Di pesantren, ia
mengajar bandongan Alfiyah, Syarah Fath al-Muin, Jam’ul Jawami’, dan
Ihya’ Ulumuddin. Pada masa NU berfusi ke dalam PPP, di Muktamar 1994,
faksi NU membentuk Kelompok Rembang, merujuk nama tempat Cholil Bisri
menjadi motor pentingnya. Kelompok ini semula bermaksud mengajukan tokoh
NU untuk bersaing dengan Buya Ismail Metareum dari unsur Muslimin
Indonesia (MI). Bersama Matori Abdul Djalil, Imam Churmen, dan
lain-lain, mereka mengoordinasi faksi NU di PPP. Tetapi, ketika
pertarungan itu belum terlaksana Kelompok Rembang justru buyar karena
sebelum Muktamar PPP sudah terjadi perpecahan dengan keluarnya kelompok
Hamzah Haz dari Kelompok Rembang. Meski demikian, nama Cholil Bisri
sangat dihormati sebagai sosok kiai politisi yang gigih membela NU.
Ketika NU kembali ke Khittah pada 1984, Kiai Cholil ikut terlibat dalam
pemulihan Khittah NU. Dalam Muktamar NU ke-27 (1984), yang merumuskan
Khittah NU, Kiai Cholil Bisri menjadi Ketua Panitia Perumus di Komisi
Program dengan Sekretaris H. Tan Gatot dan anggota-anggota: H. Dahlan
Ch, H.M. Husaini Tiway, H.M. Utsman Limbong, H.M. Asy’ari Sanak, H.
Asnawi Lathif, H. Muhammadiyah, dan H. Syafrudin Syah. Sebelum PKB
didirikan, Kiai Cholil Bisri tampak tertarik untuk berkiprah di PPP
lagi, yaitu pada 1992 saat ia masuk DPR RI dari PPP. Tetapi, ketika PKB
didirikan, kiprahnya juga besar di partai ini. Sebelum PKB didirikan
oleh Tim Kerja PBNU, inisiatif awal untuk membentuk sebuah partai
terjadi pada 30 Mei 1998 ketika diadakan istighatsah kubro di Jawa
Timur, dan banyak kiai yang berkumpul di Kantor PWNU Jawa Timur. Setelah
acara itu, banyak kiai mendesak Kiai Cholil Bisri supaya menggagas dan
membidani pendirian partai bagi wadah aspirasi politik NU. Pada 6 Juni
1998, ia mengundang 20 kiai untuk membicarakan hal tersebut, dan tidak
kurang 200 orang kiai datang. Dari pertemuan di rumahnya inilah gagasan
tersebut mengkristal sampai proses pendirian PKB oleh Tim Kerja PBNU.
Ketika PKB dideklarasikan pada 23 Juni 1998, Kiai Cholil Bisri menjadi
salah satu tokoh penting. Ia menjadi Wakil Ketua Dewan Syuro DPP PKB,
dengan Ketua Dewan Syuro KH Ma’ruf Amien dan Ketua Dewan Tanfdiziyah
Matori Abdul Djalil. Keterlibatannya dalam PKB mengantarkannya menjadi
anggota DPR dari PKB, bahkan sampai menjadi Wakil Ketua MPR. Meskipun
menjadi politisi, kekiaian Kiai Cholil Bisri tidak luntur. Ia di Rembang
tetap mengajar ngaji dan menjadi pengasuh Pesantren Raudhatut Thalibin
sampai ia meninggal dalam usia 62 tahun pada 23 Agustus 2004. Bahkan, ia
sangat menyukai kalimat-kalimat hikmah dari Ibnu Athaillah as-Sakandari
dalam al-Hikam, yang terkenal itu. Ia juga seorang penulis, bukunya
yang telah diterbitkan adalah Kami Bukan Kuda Tunggang dan Ketika Biru
Langit. Ia meninggalkan seorang istri bernama Hj. Muhsinah, delapan
anak, dan sejumlah cucu. (Sumber: Ensiklopedia NU)
0 komentar:
Posting Komentar