Targetkan Kukuh di Empat Besar dalam Lima Tahun
29/12/14, 12:20 WIB
Southampton
membangun akademi baru untuk mempertahankan tradisi memproduksi pemain
top. Dilengkapi kelas pendidikan untuk pemain muda, ruang perawatan,
laboratorium olahraga, dan fasilitas gym yang sangat komplet.
SETELAH pertandingan Real Madrid melawan
Liverpool pada kualifikasi grup B Liga Champions bulan lalu, Gareth Bale
dan Adam Lallana berpelukan sangat erat. The Guardian menggambarkan
pelukan mereka seperti dua saudara yang lama hilang.
Bagi fans Southampton, adegan tersebut adalah momen manis-pahit.
Manis karena mereka bangga bahwa dua produk akademi The Saints –julukan
Southampton– bermain pada ajang sekelas Liga Champions di stadion
legendaris, Santiago Bernabeu. Pahit karena Bale dan Lallana tidak
mengenakan jersey garis-garis merah dan putih, warna kebesaran
Southampton.
Pada malam yang sama, Arsenal memainkan dua alumni akademi
Southampton sebagai starter saat berhadapan dengan juara Belgia,
Anderlecht. Mereka adalah Alex Oxlade-Chamberlain dan Calum Chambers.
Sedangkan Theo Walcott yang baru pulih dari cedera duduk di bangku
cadangan.
Memang sulit menahan Walcott atau Bale pergi pada usia sangat muda
pada 2006 dan 2007. Southampton yang ketika itu masih bermain di Legue
One (kasta ketiga Liga Inggris) membutuhkan uang tunai untuk menyambung
hidup.
Peruntungan berubah ketika Markus Liebherr, pengusaha asal Swiss
kelahiran Jerman, membeli Southampton pada 2009. Filosofi Leibherr dalam
membangun klub tidak seperti pemilik tipe ’’Sugar Daddy’’ yang suka
menghamburkan dana raksasa untuk membeli pemain.
Leibherr memilih terus mengembangkan akademi Southampton yang sudah
berhasil memproduksi pemain-pemain top. Belum sempat menyaksikan timnya
berprestasi tinggi, Leibherr keburu meninggal pada 2010 karena serangan
jantung.
Kepemilikan Southampton dilanjutkan anak perempuan Leibherr,
Katharina. Visi pemimpin usaha bisnis teknologi Mali Group itu ternyata
sama dengan sang ayah, berfokus kepada pengembangan pemain muda.
Puncaknya adalah pembangunan akademi baru Southampton bernilai 30
juta pounds (Rp 580,2 miliar) yang selesai bulan lalu. Akademi yang
diberi nama Markus Liebherr itu sangat modern. Dilengkapi dengan kelas
pendidikan untuk pemain muda, ruang perawatan, laboratorium olahraga,
dan fasilitas gym yang sangat komplet.
’’Ini adalah investasi yang sangat bagus. Uang 30 juta pounds mungkin
hanya bisa untuk membeli satu pemain bintang. Mereka bisa pergi kapan
saja. Tetapi, akademi adalah investasi yang bertahan 50 tahun. Alih-alih
membeli satu pemain, kami akan memproduksi lima pemain top,’’ ucap Les
Reed, direktur sepak bola Southampton, sebagaimana dilansir The
Guardian.
Polemik terhadap kebijakan Katharina bukannya tidak ada. Tahun lalu,
ketika Southampton menjual pemain bintang semacam Adam Lallana, Luke
Shaw, Calum Chambers, Dejan Lovren, dan Rickie Lambert, kritik kepadanya
merebak. Apalagi, Mauricio Pochettino, manajer yang mengangkat performa
Southampton musim lalu, juga hengkang, menuju Tottenham Hotspur.
Dampaknya, Chairman Southampton Nicola Cortese mengundurkan diri.
Bahkan, Manajer Liverpool Brendan Rodgers yang menghabiskan 50 juta
pounds (Rp 967 miliar) untuk membeli tiga pemain Southampton musim panas
lalu sempat mengatakan bahwa The Saints akan ambruk karena tidak punya
ambisi.
Namun, secara jeli, Katharina mendatangkan delapan pemain baru.
Antara lain, Fraser Forster, Dusan Tadic, dan Graziano Pelle yang
berharga 60 juta pounds (Rp 1,1 triliun). Itu dikombinasikan dengan
pemain pinjaman berkualitas seperti Ryan Bertrand dari Chelsea dan Toby
Alderweireld dari Atletico Madrid.
Katharina untung 30 juta pounds (Rp 580 miliar) karena harga
penjualan para pemain bintangnya menembus 90 juta pounds (Rp 1,7
triliun).
Southampton juga mendatangkan manajer baru, Ronald Koeman dari
Feyenoord. Koeman adalah debutan di Premier League. Pada awalnya, Koeman
juga diragukan. Tetapi, pelatih asal Belanda itu bisa dikatakan sukses.
Sebab, hingga pekan ke-18, Southampton masih nangkring di posisi
keempat. Bandingkan dengan tim asuhan Rodgers yang berkutat di papan
tengah.
’’Kuncinya adalah jangan panik,’’ tegas Reed. Itulah inti
’’Southampton Way’’ yang juga napas dari pengembangan akademi yang
serbasaintifik.
Sebelumnya, Koeman juga dipantau dengan bantuan teknologi statistik
yang dikembangkan di akademi. Perekrutan pemain pun dilakukan dengan
bantuan teknologi canggih.
’’Kedatangan Ronald bukan kebetulan. Kami tidak melempar koin untuk
mendapatkannya. Kami sudah lama tahu dia. Ketika kami berada di papan
atas, itu bukan jackpot, tetapi proses yang sudah direncanakan,’’
tandasnya.
Hasil dari kerja keras Reed dan kepala perekrutan pemain Paul
Mitchell sudah mulai menampakkan hasil. Saat melawan Aston Villa bulan
lalu, Southampton memainkan starter yang semuanya adalah pemain tim
nasional di negara mereka. Itu adalah yang pertama dalam sejarah
Southampton selama 129 tahun.
Sebanyak 18 pemain dipanggil memperkuat Inggris dalam berbagai enam
jenjang kelompok umur dan satu senior. Padahal, lima tahun lalu tidak
ada satu pun pemain Southampton yang memperkuat Inggris.
’’Kami memang tidak bisa menyaingi Chelsea, Manchester City, dan
Manchester United dalam pembelian pemain. Namun, ini bukanlah kiamat.
Kami punya filosofi sendiri. Lima tahun lagi target kami adalah kukuh di
empat besar,’’ ungkap Reed.
Andaikata pemain-pemain bintang Southampton saat ini hengkang, pemain
akademi akan siap menggantikan. Jadi ingat-ingatlah nama ini; James
Ward-Prowse, 20; Harrison Reed,19; Jason McCarthy, 19; Matt Targett, 19;
Sam McQueen, 19; Dominic Gape, 20; dan Ryan Seager, 18. Suatu saat
mereka bakal menjadi bintang. (nur/c4/ttg)
0 komentar:
Posting Komentar