Kamis, 01 Januari 2015

Penjaga Roh ’’The Southampton Way’’ Seharga Rp 580 M

Targetkan Kukuh di Empat Besar dalam Lima Tahun
29/12/14, 12:20 WIB
PENUH TALENTA: Salah satu lapangan di kompleks akademi Southampton yang baru. (Southampton FC)
Southampton membangun akademi baru untuk mempertahankan tradisi memproduksi pemain top. Dilengkapi kelas pendidikan untuk pemain muda, ruang perawatan, laboratorium olahraga, dan fasilitas gym yang sangat komplet.
SETELAH pertandingan Real Madrid melawan Liverpool pada kualifikasi grup B Liga Champions bulan lalu, Gareth Bale dan Adam Lallana berpelukan sangat erat. The Guardian menggambarkan pelukan mereka seperti dua saudara yang lama hilang.
Bagi fans Southampton, adegan tersebut adalah momen manis-pahit. Manis karena mereka bangga bahwa dua produk akademi The Saints –julukan Southampton– bermain pada ajang sekelas Liga Champions di stadion legendaris, Santiago Bernabeu. Pahit karena Bale dan Lallana tidak mengenakan jersey garis-garis merah dan putih, warna kebesaran Southampton.
Pada malam yang sama, Arsenal memainkan dua alumni akademi Southampton sebagai starter saat berhadapan dengan juara Belgia, Anderlecht. Mereka adalah Alex Oxlade-Chamberlain dan Calum Chambers. Sedangkan Theo Walcott yang baru pulih dari cedera duduk di bangku cadangan.                   
Memang sulit menahan Walcott atau Bale pergi pada usia sangat muda pada 2006 dan 2007. Southampton yang ketika itu masih bermain di Legue One (kasta ketiga Liga Inggris) membutuhkan uang tunai untuk menyambung hidup.
Peruntungan berubah ketika Markus Liebherr, pengusaha asal Swiss kelahiran Jerman, membeli Southampton pada 2009. Filosofi Leibherr dalam membangun klub tidak seperti pemilik tipe ’’Sugar Daddy’’ yang suka menghamburkan dana raksasa untuk membeli pemain.
Leibherr memilih terus mengembangkan akademi Southampton yang sudah berhasil memproduksi pemain-pemain top. Belum sempat menyaksikan timnya berprestasi tinggi, Leibherr keburu meninggal pada 2010 karena serangan jantung.    
Kepemilikan Southampton dilanjutkan anak perempuan Leibherr, Katharina. Visi pemimpin usaha bisnis teknologi Mali Group itu ternyata sama dengan sang ayah, berfokus kepada pengembangan pemain muda.
Puncaknya adalah pembangunan akademi baru Southampton bernilai 30 juta pounds (Rp 580,2 miliar) yang selesai bulan lalu. Akademi yang diberi nama Markus Liebherr itu sangat modern. Dilengkapi dengan kelas pendidikan untuk pemain muda, ruang perawatan, laboratorium olahraga, dan fasilitas gym yang sangat komplet.
’’Ini adalah investasi yang sangat bagus. Uang 30 juta pounds mungkin hanya bisa untuk membeli satu pemain bintang. Mereka bisa pergi kapan saja. Tetapi, akademi adalah investasi yang bertahan 50 tahun. Alih-alih membeli satu pemain, kami akan memproduksi lima pemain top,’’ ucap Les Reed, direktur sepak bola Southampton, sebagaimana dilansir The Guardian.
Polemik terhadap kebijakan Katharina bukannya tidak ada. Tahun lalu, ketika Southampton menjual pemain bintang semacam Adam Lallana, Luke Shaw, Calum Chambers, Dejan Lovren, dan Rickie Lambert, kritik kepadanya merebak. Apalagi, Mauricio Pochettino, manajer yang mengangkat performa Southampton musim lalu, juga hengkang, menuju Tottenham Hotspur.
Dampaknya, Chairman Southampton Nicola Cortese mengundurkan diri. Bahkan, Manajer Liverpool Brendan Rodgers yang menghabiskan 50 juta pounds (Rp 967 miliar) untuk membeli tiga pemain Southampton musim panas lalu sempat mengatakan bahwa The Saints akan ambruk karena tidak punya ambisi.
Namun, secara jeli, Katharina mendatangkan delapan pemain baru. Antara lain, Fraser Forster, Dusan Tadic, dan Graziano Pelle yang berharga 60 juta pounds (Rp 1,1 triliun). Itu dikombinasikan dengan pemain pinjaman berkualitas seperti Ryan Bertrand dari Chelsea dan Toby Alderweireld dari Atletico Madrid.
Katharina untung 30 juta pounds (Rp 580 miliar) karena harga penjualan para pemain bintangnya menembus 90 juta pounds (Rp 1,7 triliun).
Southampton juga mendatangkan manajer baru, Ronald Koeman dari Feyenoord. Koeman adalah debutan di Premier League. Pada awalnya, Koeman juga diragukan. Tetapi, pelatih asal Belanda itu bisa dikatakan sukses. Sebab, hingga pekan ke-18, Southampton masih nangkring di posisi keempat. Bandingkan dengan tim asuhan Rodgers yang berkutat di papan tengah.
’’Kuncinya adalah jangan panik,’’ tegas Reed. Itulah inti ’’Southampton Way’’ yang juga napas dari pengembangan akademi yang serbasaintifik.
Sebelumnya, Koeman juga dipantau dengan bantuan teknologi statistik yang dikembangkan di akademi. Perekrutan pemain pun dilakukan dengan bantuan teknologi canggih.
’’Kedatangan Ronald bukan kebetulan. Kami tidak melempar koin untuk mendapatkannya. Kami sudah lama tahu dia. Ketika kami berada di papan atas, itu bukan jackpot, tetapi proses yang sudah direncanakan,’’ tandasnya.
Hasil dari kerja keras Reed dan kepala perekrutan pemain Paul Mitchell sudah mulai menampakkan hasil. Saat melawan Aston Villa bulan lalu, Southampton memainkan starter yang semuanya adalah pemain tim nasional di negara mereka. Itu adalah yang pertama dalam sejarah Southampton selama 129 tahun.
Sebanyak 18 pemain dipanggil memperkuat Inggris dalam berbagai enam jenjang kelompok umur dan satu senior. Padahal, lima tahun lalu tidak ada satu pun pemain Southampton yang memperkuat Inggris.
’’Kami memang tidak bisa menyaingi Chelsea, Manchester City, dan Manchester United dalam pembelian pemain. Namun, ini bukanlah kiamat. Kami punya filosofi sendiri. Lima tahun lagi target kami adalah kukuh di empat besar,’’ ungkap Reed.
Andaikata pemain-pemain bintang Southampton saat ini hengkang, pemain akademi akan siap menggantikan. Jadi ingat-ingatlah nama ini; James Ward-Prowse, 20; Harrison Reed,19; Jason McCarthy, 19; Matt Targett, 19; Sam McQueen, 19; Dominic Gape, 20; dan Ryan Seager, 18. Suatu saat mereka bakal menjadi bintang. (nur/c4/ttg)

0 komentar:

Posting Komentar