Muktamar NU Mesti Lebih Peduli Nasib Petani
Ahad, 22/03/2015 08:17
Berita Terkait
Bandung, NU Online
Pengasuh Pesantren Agribisnis Al-Ittifaq Bandung KH Fuad Affandi berharap Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama pada Agustus nanti menjadi momen bagi para pengurus NU meningkatkan keseriusannya dalam memperhatikan nasib kaum tani.
"Warga Indonesia mayoritas Islam, kaum Nahdliyin juga mayoritas, dan mayoritas penduduk Indonesia juga bergantung pada sektor pertanian. Karena itu tidak ada alasan untuk mengabaikan kaum tani,” ujarnya kepada NU Online di Pesantren Al-Ittifaq, Rancabali, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat (20/3).
“Sebab dengan memperhatikan kaum tani, otomatis kita memperhatikan warga NU, memperhatikan umat Islam, dan itu artinya juga memberi perhatian terhadap nasib penghuni negara Indonesia," tambahnya.
Kiai yang mendapat banyak penghargaan atas prestasinya dalam perjuangan kaum tani ini berpendapat, pengurus NU harus memiliki pandangan yang maju dalam urusan pertanian. Sektor ini, katanya, sangat pas untuk diperjuangkan karena menopang kemandirian bangsa.
"Petani bercocok tanam itu bukan hanya untuk dimakan petani. Siapa sih yang tidak butuh konsumsi hasil pertanian? Mau pejabat, dosen, ulama, santri, mahasiswa, artis sampai kongklomerat semua makan hasil pertanian. Itu pertanda hasil pertanian paling banyak membawa berkah, membawa kemashalahatan, membawa kebaikan. Bukan hanya keberkahan bagi manusia, tapi juga bagi hewan dan ekologi," jelasnya.
Fuad melihat bahwa selama ini orang gengsi menjadi petani. Menurutnya, hal itu akibat salah persepsi memandang pertanian. "Seolah-olah petani itu melarat, ndeso dan tak berpendidikan. Padahal itu hanya kebetulan saja kebanyakan yang demikian adalah warga yang hidup dalam pertanian, tapi itu bukan kaum tani yang sesunggunnya. Sebab kita harus membedakan buruh tani dengan petani," jelasnya.
Menurut Fuad, cara pandang tentang kehidupan, model bisnis, dan arah usaha kaum tani harus banyak diperbaiki dengan pola pikir yang modern. "Kita ini punya rujukan ayat Allah, dan tauladan rassulullah, tapi sering lupa sunnatullah. Nah, modern itu bagian dari sunnatullah, harus kita baca arahnya, kita ikuti geraknya dengan kesadaran yang cerdas supaya tidak menjadi korban modernisasi."
Mang Haji, demikian panggilan akrabnya, sangat berharap agar kepenguruan NU mendatang banyak melatih kaum santri yang lulus pesantren.
"Ilmu pertanian tidak ada dalam kitab kuning, dan terkadang pula para kiai hanya mampu jadi guru ngaji, tapi tidak mampu jadi guru tani, padahal mereka hidup setiap hari sepanjang hayat bersama kaum tani. Jadi ini salah satu hal yang harus diperbaiki melalui pengetahuan kitab, bacaan maupun kombinasi ilmu terapan. Ilmu dalam amal harus selaras dikembangkan," ujarnya lugas. (Yusuf Makmun/Mahbib)
Pengasuh Pesantren Agribisnis Al-Ittifaq Bandung KH Fuad Affandi berharap Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama pada Agustus nanti menjadi momen bagi para pengurus NU meningkatkan keseriusannya dalam memperhatikan nasib kaum tani.
"Warga Indonesia mayoritas Islam, kaum Nahdliyin juga mayoritas, dan mayoritas penduduk Indonesia juga bergantung pada sektor pertanian. Karena itu tidak ada alasan untuk mengabaikan kaum tani,” ujarnya kepada NU Online di Pesantren Al-Ittifaq, Rancabali, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat (20/3).
“Sebab dengan memperhatikan kaum tani, otomatis kita memperhatikan warga NU, memperhatikan umat Islam, dan itu artinya juga memberi perhatian terhadap nasib penghuni negara Indonesia," tambahnya.
Kiai yang mendapat banyak penghargaan atas prestasinya dalam perjuangan kaum tani ini berpendapat, pengurus NU harus memiliki pandangan yang maju dalam urusan pertanian. Sektor ini, katanya, sangat pas untuk diperjuangkan karena menopang kemandirian bangsa.
"Petani bercocok tanam itu bukan hanya untuk dimakan petani. Siapa sih yang tidak butuh konsumsi hasil pertanian? Mau pejabat, dosen, ulama, santri, mahasiswa, artis sampai kongklomerat semua makan hasil pertanian. Itu pertanda hasil pertanian paling banyak membawa berkah, membawa kemashalahatan, membawa kebaikan. Bukan hanya keberkahan bagi manusia, tapi juga bagi hewan dan ekologi," jelasnya.
Fuad melihat bahwa selama ini orang gengsi menjadi petani. Menurutnya, hal itu akibat salah persepsi memandang pertanian. "Seolah-olah petani itu melarat, ndeso dan tak berpendidikan. Padahal itu hanya kebetulan saja kebanyakan yang demikian adalah warga yang hidup dalam pertanian, tapi itu bukan kaum tani yang sesunggunnya. Sebab kita harus membedakan buruh tani dengan petani," jelasnya.
Menurut Fuad, cara pandang tentang kehidupan, model bisnis, dan arah usaha kaum tani harus banyak diperbaiki dengan pola pikir yang modern. "Kita ini punya rujukan ayat Allah, dan tauladan rassulullah, tapi sering lupa sunnatullah. Nah, modern itu bagian dari sunnatullah, harus kita baca arahnya, kita ikuti geraknya dengan kesadaran yang cerdas supaya tidak menjadi korban modernisasi."
Mang Haji, demikian panggilan akrabnya, sangat berharap agar kepenguruan NU mendatang banyak melatih kaum santri yang lulus pesantren.
"Ilmu pertanian tidak ada dalam kitab kuning, dan terkadang pula para kiai hanya mampu jadi guru ngaji, tapi tidak mampu jadi guru tani, padahal mereka hidup setiap hari sepanjang hayat bersama kaum tani. Jadi ini salah satu hal yang harus diperbaiki melalui pengetahuan kitab, bacaan maupun kombinasi ilmu terapan. Ilmu dalam amal harus selaras dikembangkan," ujarnya lugas. (Yusuf Makmun/Mahbib)
0 komentar:
Posting Komentar