PENDAHULUAN
Menilik sekilas
tentang sejarah lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama (NU), selain tokoh fundamental
K.H.
Hasyim Asy’ari dan K.H. A.Wahid Hasyim juga dikenal K.H. Abdul Wahab
Hasbullah yang berperan penting dalam proses berdiri sampai berkembangnya NU.
Jika sosok K.H. A.Wahid Hasyim dapat dikategorikan sebagai tokoh dan teladan
kaum muda, maka K.H. Wahab Hasbullah dapat dikatakan sebagai sosok kaum tua
dari sederet kiai dalam organisasi tersebut. Beliau menjadi kiai yang paling
lama berkiprah di pentas perpolitikan nasional. Hal ini disebabkan karena ia
berkiprah tanpa henti mengikuti tiga zaman, yaitu masa pergerakan sampai
merebut kemerdekaan, masa kepemimpinan Soekarno dan masa kepemimpinan Soeharto.
Sosok beliau dikenal sebagai seorang pekerja keras, gesit dan tekun. Walaupun
tubuhnya kecil dan sebenarnya tidak layak disebut sebagai pendekar, namun ulama
khos Kyai Kholil Bangkalan Madura, menyebutnya semenjak muda sebagai “macan”.
Hal tersebut dibuktikan sebagai sosol kiai yang tidak hanya berani dengan
tangan kosong, tapi juga berani
berkelahi lewat jalur politik. Beliaulah yang mendirikan organisasi
Sarekat Islam (SI) cabang Mekkah. Kemudian beliau mendirikan kelompok diskusi
Tashwirul Afkarm Nahdlatul Wathan, dan Nahdlatut Tujjar yang kesemuanya itu
menjadi embrio berdirinya organisasi NU. Bahkan dalam urusan mistik, Kiai Wahab
Hasbullah mempunyai wirid tersendiri yang bukan hanya cukup disegani, melainkan
juga banyak dipercayai oleh para santri dalam memudahkan segala urusan
dunianya.
Kiai Wahab
Hasbullah adalah sosok ulama dan kiai yang berpikir moderat, pragmatis, dan
terbuka. Ia bersikap sangat kontekstual dalam memandang hukum-hukum fikih
sehingga sering mendapat peringatan dari guru beliau, K.H. Hasyim Asy’ari bahwa
dalam menyampaikan fikih jangan sampai kebablasan.
Dari sinilah
kita perlu menggali lebih jauh tentang sosok dan kiprah K.H. Wahab Hasbullah. Dari
berbagai referensi yang dapat penulis temukan dalam menyusun makalah ini, semoga
dapat membawa manfaat bagi kita semua, terutama bagi Anda yang ingin menjadikan
beliau sebagai teladan.
B.
BIOGRAFI KIAI WAHAB HASBULLAH
§
Kelahiran dan Masa Kanak-Kanak
Kiai Abdul Wahab Hasbullah lahir dari pasangan Kiai Hasbullah dan
Nyai Latifah, pada Maret 1888 di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur. Wahab
Hasbullah kecil banyak menghabiskan waktunya untuk bermain dan bersenang-senang
layaknya anak-anak kecil masa itu. Semenjak kanak-kanak, Wahab Hasbullah dikenal
sebagai pemimpin dalam segala permainan.
§
Silsilah Keturunan
K.H. Wahab Hasbullah berasal dari keturunan Raja Brawijaya IV dan bertemu
dengan silsilah K.H. Hasyim Asy’ari pada datuk yang bernama Kiai Soichan.
§
Pendidikan
Masa pendidikan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dari kecil hingga besar
banyak dihabiskan di pondok pesantren. Selama kurang lebih 20 tahun, ia secara
intensif menggali pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren. Karena tumbuh
dilingkungan pondok pesantren, mulai sejak dini ia diajarkan ilmu agama dan
moral pada tingkat dasar. Termasuk dalam hal ini tentu diajarkan seni Islam
seperti kaligrafi, hadrah, barjanji, diba’, dan sholawat. Kemudian
tak lupa diajarkan tradisi yang menghormati leluhur dan keilmuan para leluhur,
yaitu dengan berziarah ke makam-makam leluhur dan melakukan tawasul. Beliau
dididik ayahnya sendiri cara hidup,seorang santri. Diajaknya shalat berjamaah,
dan sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat tahajjud. Kemudian Wahab
Hasbullah membimbingnya untuk menghafalkan Juz ‘Amma dan membaca Al Quran
dengan tartil dan fasih. Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari
kitab yang paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari.
Misalnya: Kitab Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahab,
Muhadzdzab dan Al Majmu’. Wahab Hasbullah juga belajar Ilmu Tauhid,
Tafsir, Ulumul Quran, Hadits, dan Ulumul Hadits.
Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak
semenjak masa kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang
dipelajarinya. Selama enam tahun awal pendidikannya, ia dididik langsung oleh
ayahnya, baru ketika berusia 13 tahun, Wahab Hasbullah merantau untuk menuntut
ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya.
Diantara pesantren yang pernah disinggahi Wahab Hasbullah adalah
sebagai berikut:
1.
Pesantren Langitan Tuban.
2.
Pesantren Mojosari, Nganjuk.
3.
Pesantren Cempaka.
4.
Pesantren Tawangsari, Sepanjang.
5.
Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura dibawah asuhan Kiai Kholil
Bangkalan.
6.
Pesantren Branggahan, Kediri.
7.
Pesantren Tebu Ireng, Jombang dibawah asuhan K.H. Hasyim Asy’ari.
Khusus di Pesantren Tebu Ireng, ia cukup lama menjadi santri. Hal
ini terbukti, kurang lebih selama 4 tahun, ia menjadi “lurah pondok”, sebuah
jabatan tertinggi yang dapat dicicipi seorang santri dalam sebuah pesantren,
sebagai bukti kepercayaan kiai dan pesantren tersebut (Mashyuri, 2008:83).
§
Menikah dan Membina Rumah Tangga
Pada tahun 1914, Abdul Wahab Hasbullah menikah dengan Kiai Musa
yang bernama Maimunah. Sejak itu ia tinggal bersama mertua di kampong
Kertopaten Surabaya. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki pada
tahun 1916 bernama Wahib, yang kemudian dikenal sebagai Kiai Wahab Wahib. Namun,
pernikahan dan membina rumah tangga ini tidak berlangsung lama. Istrinya
meninggal sewaktu mereka berdua menjalankan ibadah haji pada tahun 1921.
Setelah itu Kiai Wahab Hasbullah menikah lagi dengan perempuan bernama
Alawiyah, pitri Kiai Alwi. Namun pernikahan ini pun tidak berlangsung lama
sebeb setelah mendapatkan putra, istrinya meninggal. Begitu juga untuk ketiga
kalinya ia menikah lagi, namun pernikahannya tidak berlangsung lama. Tidak
jelas siapakah nama istri ketiganya ini, Juga, penyebab terputusnya pernikahan
yang tidak lama tersebut, apakah karena istrinya meninggal atau bercerai.
Dari sini beliau menikah lagi, pernikahan keempat dilakukan dengan
Asnah, putrid Kiai Sa’id, seorang pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat
orang anak, salah satunya bernama Kiai Nadjib (almarhum) yang sekanjutnya
mengasuh Pesantren Tambakberas.
Namun lagi-lagi pernikahan ini tidak langgeng kembali. Nyai Asnah
meninggal dunia. Kemudian Kiai Wahab menikah lagi untuk yang kelima kalinya
dengan seorang janda bernama Fatimah, anak Haji Burhan. Dari pernikahan ini
beliau tidak mendapatkan keturunan. Namun, dari Fatimah ia memperoleh anak tiri
yang salah satunya kelak besar bernama K.H. A. Syaichu.
Dari sinilah banyak orang mencemooh perilaku Kiai Wahab. Tidak
jarang, banyak orang yang menjulukinya sebagai “kiai tukang kawin” karena
setekah itupun ia menikah kembali untuk yang keenam kalinya. Kali ini dengan
anak Kiai Abdul Madjid Bangil, yang bernama Ashikhah. Pernikahan inipun tidak
berlangsung lama karena saat menunaikan ibadah haji bersama, Nyai Ashikhah
meninggal dunia. Dari istri ini beliau dikaruniai empat orang anak.
Pernikahan belaiau yang terakhir, yang ketujuh adalah dengan kakak
perempuan Ashikhah, bernama Sa’diyah. Dengan perempuan inilah pernikahan Kiai
Wahab mencapai puncaknya, artinya langgeng sampai akhir hayat beliau. Dari Nyai
Sa’diyah ini beliau mendapatkan beberapa keturunan, yaitu Mahfuzah, Hasbiyah,
Mujidah, Muhammad Hasib dan Raqib (Masyhuri, 2008:84 dan Aceh, 1957:125-126).
§
Wafat
K.H. Abdul Wahab Hasbullah menjabat Rais Aam Organisasi Nahdlatul
Ulama sampai akhir hayatnya. Muktamar NU ke-25 di Surabaya adalah Muktamar
terakhir yang diikutinya. Khutbah al-iftitah muktamar yang lazim
dilakukan oleh Rais Aam kemudian diserahkan kepada K.H. Bisri Syansuri yang
biasa membantunya dalam menjalankan tugasnya sebagai Rais Aam untuk
membacakannya. K.H. Abdul Wahab Hasbullah meninggalkan muktamar dalam keadaan
sakit yang akut. Hampir lima tahun ia menderita sakit mata yang menyebabkan
kesehatannya semakin menurun.
Akhirnya, tepat empat hari setelah muktamar atau tepatnya Rabu, 12
Dzulqa’idah 1391 H atau 29 Desember 1971, Kiai Wahab Hasbullah wafat di
kediamannya, Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak beras, Jombang (Masyhuri,
2008:107).
C.
PERJUANGAN
Perjuangan K.H.
Abdul Wahab Hasbullah dapat dikatakan lebih dikaitkan dengan persoalan
pergerakan, organisasi, maupun istilahnya politik Islam. Langkah awal perjuangan
yang ditempuh K.H. Abdul Wahab Hasbullah yaitu lewat jalur pendidikan. Ia
mendirikan madrasah bernama “Nahdlatul Wathan”. Nama madrasah sengaja
dipilih Nahdlatul Wathan yang berarti: “bangkitnya tanah air” adalah bukti dari
cita-cita murni Kiai Abdul Wahab Hasbullah untuk membebaskan bangsa dari belenggu
kolonial Belanda.
Menurut K.H. Muhammad Ghozi Wahid (cucu Kiai Wahab) dalam peristiwa
10 November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar, seperti Kiai Bisri Syansuri,
Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon,
mengerahkan seluruh kekuatan gaibnya untuk melawan tentara sekutu. Hizib-hizib
yang mereka miliki dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjata
lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagungpun ditangan kiai-kiai itu dapat
difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar.
Ketika Kiai Hasyim Asy’ari ditangkap Jepang sekitar bulan April-Mei
1942, Kiai Wahab dan K.H. Wahid Hasyim bersama para kiai berulangkali melakukan
dialog dengan Saikoo Sikikan (panglima tertinggi tentara Jepang di Jawa) untuk memperjuangkan
pembebasan Kiai Hasyim Asy’ari. Menurut catatan sejarah, penangkapan tersebut dilatar
belakangi oleh adanya fatwa K.H. Hasyim Asy’ari yang mengharamkan para
santrinya melakukan saikere, yaitu kewajiban bagi seluruh rakyat
Indonesia untuk membungkukkan badan sembilan puluh derajat kearah Tokyo untuk
menghormat Tenno Heika, Raja Jepang. K.H. Hasyim Asy’ari mengaharamkan tindakan
tersebut dan fatwa beliau disampaikan kepada Saikoo Sikikan. Selama satu bulan
waktunya dihabiskan untuk menagani persoalan tersebut. Setelah melampaui
perjuangan yang berat dan penuh resiko, akhirnya terbebaslah Kiai Hasyim
Asy’ari dari tahanan pemerintah militer Jepang setelah lebih dari empat bulan
beliau dipenjara oleh Jepang. Akan tetapi, pekerjaan Kiai Wahab belum selesai
hingga disini. Lalu pergilah Kiai Wahab Hasbullah ke Wonosobo untuk membebaskan
12 orang tokoh ulama NU melalui pengadilan Jepang.
Tidak kalah
pentingnya memperhatikan langkah-langkah perjuangan lain yang ditempuh Kiai
Wahab. Ini penting karena dalam diri Kiai Wahab agaknya tersimpan beberapa
sifat yang jarang dipunyai oleh orang lain. Beliau adalah tipe manusia yang
pandai bergaul dan gampang menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tetapi,
beliau juga seorang ulama yang paling tangguh mempertahankan dan membela
pendiriannya. Beliau diketahui sebagai pembela ulama pesantren (ulama
bermadzhab) dari serangan-serangan kaum modernis anti madzhab.
Apa pun nama
madrasah di beberapa cabang itu pastilah dibelakangnya tercantum nama “Wathan”
yang berarti tanah air. Ini berarti tujuan utamanya adalah membangun semangat
cinta tanah air. Kecuali berjuang dengan Nahdlatul Watan beliau juga aktif
berkiprah sebagai penasehat di Masyumi yang beranggotakan dari kalangan
NU dan Muhammadiyah. Sebelumnya ia juga ikut mendirikan MIAI (Majelis Islam Ala
Indonesia) bersama K.H. Achmad Dahlan (Muhammadiyah) dan K.H. Mas Mansur (non-partai)
karena didorong oleh kesadaran perlu menciptakan suasana hubungan yang baik
antara partai dan organisasi-organisasi Islam saat itu. MIAI didirikan di
Surabaya pada tanggal 12 September 1937, namun pada bulan Oktober 1943
dibubarkan Jepang karena dianggap membahayakan kedudukan Jepang.
Sarekat Islam (SI) adalah pergerakan yang beliau dirikan selanjutnya bersama
rekan-rekannya ketika masih menuntut ilmu di Mekkah. Pergerakan ini bukan
sekadar mengumpulkan cendekiawan dari kalangan Islam tanah aur, melainkan
gerakan ini juga ingin memajukan kaum Islam yang rendah ekonominya dan rendah
pengetahuannya.
Beliau juga
tidak dapat membiarkan serangan-serangan kaum modernis yang dilancarkan kepada
ulama bermadzhab. Lagi pula, serangan-serangan itu tidak mungkin dapat dihadapi
sendirian. Sebab itu, pada tahun 1924, Kiai Wahab membuka kursus “Masail Diniyyah”
(khusus masalah-masalah keagamaan) guna menambah pengetahuan bagi ulama-ulama
muda yang mempertahankan madzhab pesantren. Dengan demikian, Kiai Wahab telah
juga membangun pertahanan cukup ampuh bagi menolak serangan-serangan kaum
modernis.
Selanjutnya, pada
saat pemimpin-pemimpin Islam mendapat undangan dari Raja Hijaz, beliau lalu
membentuk Komite Khilafat yang diberinama “Komite Hijaz” atas izin dari K.H.
Hasyim Asy'ari. Belaiu mendirikan “Komite Hijaz” sebagai bentuk respon
atas proses “wahabisasi” di Arab yang memberi pengaruh pada persoalan kebebasan
beribadah sesuai dengan kepercayaannya. Komite ini kemudian mengirim delegasi
sendiri ke Makkah-Madinah. Dan Komite Hijaz inilah yang kemudian melahirkan Jam’iyah
Nahdlatul Ulama, sehingga kehadiran NU tidak dapat dilepaskan dari perjuangan
K.H. Abdul Wahab Hasbullah.
D.
PEMIKIRAN KIAI WAHAB HASBULLAH
Jika
disejajarkan dengan Gus Dur (Abdurrahman Wahid), maka Kiai Wahab Hasbullah
memiliki banyak persamaan yang didasarkan pada masanya masing-masing. Keduanya
sama-sama tokoh yang sangat kontraversial di kalangan ulama dan politisi.
Abdurrahman Wahid dikenal sebagai ulama dan cendekiawan yang sikap dan
maneuver-manuver politik yang dilakukannya sering menimbulkan pertanyaan
tentang integritas dan konsistensi idealisme dan cita-cita perjuangannya.
Kemudian kenapa Kiai Wahab Hasbullah juga begitu kontraversial?.
Diantara
beberapa hal yang menjadikan Kiai Wahab menjadi ulama sekaligus politisi dan
cendekiawan yang kontraversial dikalangan umat Islam Indonesia adalah ketika
meningginya konflik antara kaum modernis dan reformis dengan kaum tradisionalis,
beliau tampil sebagai “guardian” tradisionalisme dengan jalan membentuk Taswirul
Afkar pada tahun 1918 yang kemudian melaksanakan perdebatan terhadap
permasalahan yang diperdebatkan kaum tradisionalis dan modernis saat itu.
§
Bidang Pendidikan
Menurut beliau pendidikan tidak harus dilakukan di pesantren dan
mendidik anak harus tepat pada situasi dan kondisi yang dibutuhkan masyarakat,
namun bukan berarti pendidikan pesantren dilupakan. Oleh karenanya selain ia
melakukan pendidikan di Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, juga
melakukan pendidikan di luar pesantren yang ditujukan untuk kalangan umum dan
terpelajar dengan mendirikan kelompok diskusi bernama Tashwirul Afkar.
Melalui Nahdlatun Wathan beliau juga telah berhasil mendirikan beberapa sekolah
di berbagai daerah, antara lain:
1.
Sekolah/Madrasah Ahloel Eathan di Wonokromo
2.
Sekolah/Madrasah Far’oel Wathan di Gresik
3.
Sekolah/Madrasah Hidayatoel Wathan di Jombang, dan
4.
Sekolah/Madrasah Khitaboel Wathan di Surabaya (Mashyuri,
2008:86-87).
§
Bidang Keagamaan
Konsep Kiai Wahab Hasbullah tentang keagamaan terutama bagaimana
peran Islam, lebih banyak berreferensi dari tradisi politik keagamaan Sunni dan
pla pergerakan ahlus sunnah wal jama’ah. Pemikiran beliau lebih terbuka
dengan tidak keras atau fanatik pada suatu pendapat, pragmatis demi mencari
solusi kebenaran bersama, dan kebutuhan mendesak dan penting serta kontekstual,
atau yang kita kenal sebagai moderatisme.
§
Pergerakan
Progresivitas konsep pergerakan Kiai Wahab Hasbullah terlihat jelas
ketika ia turut serta dalam membidani lahirnya organisasi kalangan Islam NU.
Mengapa hal demikian disebut sebagai progresivitas pemikiran pergerakan dari
Kiai Wahab Hasbullah?
Tidak lain karena organisasi pergerakan di Indonesia kala itu
muncul dari kalangan terpelajar atau dari kota yang dibekali pendidikan
notabene ciptaan Belanda. Pendidikan itu sangat menekankan rasionalitas modern
dalam memandang persoalan kehidupan. Sementara kalangan Islam tradisional
kebanyakan adalah kelompok masyarakat tradisional, kalangan petani, yang
kebanyakan pola pandangan hidupnya masih sedikit terpengaruh pemikiran nasional
modern, karena mereka mengandalkan bacaan kitab kuning-nya yang mereka pelajari
di pesantren.
§
Demokrasi
Diceritakan oleh Saifudin Zuhri dalam salah satu bukunya, Biografi
Wahab Hasbullah, disebutkan sebagai berikut:
“Kami bertiga, Kiai Wahab, Pak Idham, dan Saifuddin Zuhri sama-sama
duduk dalam dewan pertimbangan agung mewakili NU. Berbulan-bulan dewasa ini
membicarakan “sosialisme Indonesia”, “Landreform”, “Pancasila” dan lain-lain.
Ada dua aspek yang selalu diperhatikan oleh NU dalam pembahasan tersebut.
Sosialisme Indonesia menurut NU haruslah sosialisme ala Indonesia dan bukanlah
sosialisme ala komunisme, baik Moskow atau Peking. Sosialisme Indonesia tak
lain dan tak bukan adalah dibentengi ideology Negara ualah Pancasila dan UUD
Negara yang menjamin setiap penduduk menjalankan keyakinan agamanya. Sementara
itu, tentang landasan “landreform”, pada dasarnya NU dapat menyetujuinya selama
gerakan ini tidak mengandung maksud melenyapkan hak milik pribadi dan negara.
Menurut ajaran Islam, tiap-tiap hak milik harus dilindungi dan dipertahankan,
namun juga diwajibkan menegakkan keadilan.” (Zuhri, 1983:72-73).
Bagi Wahab Hasbullah,
nilai dasar demokrasi adalah memanusiakan manusia dan mengaturnya agar pola
hubungan antar-manusia itu dapat saling menghormati perbedaan dan mampu
bekerjasama sehingga menciptakan kesejahteraan bersama.
E.
WARISAN DAN PENINGGALAN KIAI WAHAB HASBULLAH
Ukuran
ketokohan K.H. Wahab Hasbullah bukanlah terletak pada buku karya ilmiahnya,
karena memang bolah dikatakan beliau tidak meninggalkan sebuah karangan pun,
melainkan buah pikiran dan kemampuan ilmunya yang diuraikan dimana-mana dalam
banyak kesempatan dan peristiwa. Mungkin bagi kalangan intelektual murni, yang
suka menganalisis dari teks ke teks saja, hal ini sangat disayangkan.
Setidaknya, beliau menyempatkan diri untuk menuliskan buku panduan menkadi
politisi menurut konsep aswaja.
Namun,
sebenarnya tidaklah benar seratus persen
jika Kiai Wahab Hasbullah hanyalah seorang tokoh atau kiai politik saja. Beliau
dikenal sebagai kago silat dan ahli wirid. Konon dimana-mana, Kiai Wahab
menyebut ijazah, macam-macam hizib, wirid kepada seluruh warga NU da siapa saja
yang memerlukan kekebalan diri. Ia menyatakan orang Islam bukan hanya berwibawa
dan disegani karena ilmunya, melainkan juga karena wiridnya. Salah satu
peninggalan wirid Kiai Wahab yang terkaenal dan biasa diamalkan terutama
dikalangan Pesantren sampai sekarang, dicuplik dari buku Azis Mashyuri, yaitu:
“Maulaya shalli wa sallim da’iman abada
‘alal
habibika khairil khalqi kullihimi
Huwal habibul
ladzi turja syafa’atuhu
Likulli
hauli minal ahwali muktahimi”.
F.
PENUTUP
Pepatah menyatakan
“tiada gading yang tak retak”, penyusun tuliskan sebagai reflaksi terhadap
tokoh Kiai Wahab Hasbullah dalam makalah ini. Beliau memang orang besar, semua
orang banyak yang mengakuinya. Namun, Kiai Wahab Hasbullah juga seorang
manusia. Manusia tetaplah manusia yang tetap pada sifat kemanusiaannya, bisa
marah, bisa lupa ataupun salah. Karena jika tidak demikian ia tentunya adalah
malaikat.
Pemakalahpun
dalam hal ini melihat sosok beliaupun demikian. Pemakalah tidak meragukan
perannya terhadap berbagai pergerakan dan organisasi yang beliau realisasikan
didalamnya, terutama di organisasi Nahdlatul Ulama yang lahir pada tahun 1926
dan telah berkembang menjadi organisasi terbesar dikalangan mayoritas umat
Islam di Indonesia.
Menurut
Budiawan, suatu godaan besar senantiasa menghadang para penulis biografi adalah
kecenderungan untuk terjebak kedalam personifikasi nilai-nilai pada diri tokoh
yang menjadi subyek penulisan. Lebih-lebih bila motivasi itu berada diluar
kepentingan akademis, godaan yang lebih besar semakin tak terelakkan.
Jika godaan itu
semakin besar, tidak jarang dijumpai sebuah biografi yang mengisahkan seorang
tokoh melampaui kapasitasnya sebagai manusia. Biografi semacam ini jelas sudah
sudah tidak lagi berbicara tentang kisah manusia, tetapi kisah tentang manusia
yang telah dinobatkan sebagai “setengah dewa” atau “dewa”.
Budiawan dalam
hal ini sepakat dengan pendapat Ralph Ross, bahwasanya biografi bukan
sepenuhnya ilmu, melainkan berada pada perbatasan antara ilmu dan seni. Dalam
bahasa Ralph Ross, biografi adalah seni yang semi-ilmiah (Budiawan, 2006:1-4).
0 komentar:
Posting Komentar